12.02.2010

Bayi Pun Perlu Disiplin

Jangan salah, lo, bayi sudah bisa diajarkan disiplin. Kendati usianya masih sangat muda, namun seperti kakak-kakaknya, ia juga perlu disiplin.
Tapi disiplinnya bukan disiplin ala militer, lo, yang kalau dilanggar maka si kecil akan menerima hukuman dengan tindakan keras. Disiplin yang dimaksud adalah membentuk suatu pola rutin agar ia dapat hidup teratur dalam kegiatan fisik sehari-hari sehingga bisa mengikuti peraturan-peraturan sosial. Jadi, disiplinnya masih sebatas pada kegiatan fisik. Misal, jadwal tidur dan makan. Pada beberapa bayi, terang dra. Shinto Adelar, MSi. , ritme biologisnya berbeda dengan waktu tidur orang pada umumnya. "Ia aktif di waktu malam namun di waktu siang malah tidur."
Nah, ini, kan, enggak bisa dibiarkan. Kalau tidak, orang tua akan capek. Kerja di kantor pun bisa enggak beres dan bukan tak mungkin akan mempengaruhi kehidupan keluarga. Belum lagi dampaknya buat si kecil nanti, misal, saat ia harus masuk Tk. "TK itu, kan, jam masuknya pagi sekitar jam 7 atau 8. Nah, kalau ia tak terbiasa bangun pagi, pasti akan sulit buat dia," jelas psikolog perkembangan dari Fakultas Psikologi UI ini.


JANGAN KAKU
Tentu saja untuk mendisiplinkan bayi diperlukan kiat tersendiri. Dalam hal jam tidur, biasanya bayi akan tertidur bila tubuhnya sudah merasa lelah. Jadi, Bu-Pak, buatlah ia merasa lelah pada jam-jam tertentu dengan mengatur kegiatannya. Selanjutnya, ciptakan suasana agar ia merasa nyaman dan aman, karena pada umumnya, perasaan itu akan menimbulkan rasa mengantuk. "Memang ini enggak cespleng karena memerlukan latihan, namun lama kelamaan akan terbentuk pola tidur seperti yang diinginkan orang tua," tutur Shinto.
Namun dalam mendisiplinkan bayi, Bapak-Ibu jangan terlalu kaku, ya. Misal, waktu tidur sudah tiba namun ia masih ingin bermain. "Tak ada salahnya orang tua mengikuti kehendaknya lebih dulu." Toh, kita bisa melakukan bermacam strategi. Misal, setelah memberinya kesempatan bermain sebentar, lalu kita telentangkan dia dan mulai memijat lembut kakinya. Lama-lama bila rileks, ia akan tertidur juga. Begitu juga dalam hal jam makan. Misal, pokoknya jam 9 teng harus makan. Enggak harus begitu, lo, Bu-Pak. "Orang tua juga perlu toleransi karena ada masa-masa bayi rewel dan sulit makan seperti ketika ia sedang tumbuh gigi," lanjut Shinto.
Apalagi bila sebelumnya ia sudah diberi camilan kue atau habis minum susu sehingga masih kenyang, tentulah ia tak mau makan meskipun sudah tiba jam makan. Kesalahan orang tua, menurut Shinto, seringkali hanya ingat bahwa makan berarti makan besar seperti nasi, kentang, atau mi. Jadi, ketika menyusun jadwal makan bayi, orang tua melupakan camilan di antara waktu makan atau minum susu. Selain jadwal, orang tua juga perlu memperhatikan jenis makanan kesenangan bayi dan jumlahnya, sehingga ia bisa teratur dengan sendirinya. "Tapi tentu harus dengan memperhatikan kondisi bayi, ya, karena ada bayi yang memiliki pencernaan berbeda dengan bayi pada umumnya sehingga takaran makanannya tak bisa disesuaikan dengan bayi-bayi lain." Bayi yang demikian, bila makan dengan takaran biasa akan muntah.

TARIK ULUR
Jadi, Bu-Pak, dalam menerapkan disiplin pada bayi harus selalu ada perkecualiannya. Lagi pula, disiplin itu seni atau ada tarik-ulurnya. Kalau Bapak-Ibu terlalu ingin sempurna, biasanya malah akan mengalami stres atau capek sendiri. Bahkan, bisa-bisa tak dapat menikmati seni membesarkan bayi karena dianggap sebagai beban. "Ada, lo. orang tua yang membesarkan bayi dengan tidak fun karena begitu taat pada peraturan," bilang Shinto.
Padahal, membesarkan bayi harus dinikmati dengan menyadari bahwa semua ada batas-batasnya, termasuk soal disiplin. Misal, tentang kebersihan. "Semua orang tua pasti menginginkan anaknya menyukai kebersihan, tapi bukan berarti bayi harus 'dibungkus' terus dan di larang ke mana-mana, kan?" Toh, terlalu bersih pun enggak sehat karena kehidupan penuh dengan kuman dan bakteri. Kalau ia terlalu bersih dan terlalu dilindungi, daya tahan tubuhnya malah enggak baik.
Selain itu, kalau terlalu bersih juga bisa menghambat proses belajar anak tentang kehidupan yang suatu ketika mungkin diperlukan. Misal, saking ingin bersihnya, si kecil tak boleh main pasir. Padahal, main pasir bisa mengembangkan banyak hal. Ia dapat memahami apa itu pasir, selain akan melatih indra perabanya, "Oh, kalau pasir itu berbutir-butir dan bisa dibuat sesuatu." atau, "Oh, kalau pasir itu diinjak empuk," atau, "Oh, kalau jatuh di pasir enggak lebih sakit bila dibanding jatuh di tempat yang lebih keras," dan sebagainya. Dengan kata lain, kita harus melihat jangan sampai larangan yang kita berlakukan terlalu kaku sehingga menghambat rasa ingin tahu anak dan membatasi eksplorasinya. Seperti kita ketahui bersama, masa bayi merupakan masa senang-senangnya bereksplorasi.
Ketika ia mulai belajar merangkak, misal, ia baru belajar mengenal lingkungannya. Semua tampak menarik baginya. Tapi kalau pada saat bereksplorasi ia melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, tentu ia perlu diberi tahu. Misal, ketika ia sedang menarik kabel telepon atau hendak memasukkan jari-jemari mungilnya ke lubang kipas angin, orang tua harus memberi tahu, "Ayo, enggak boleh," dengan nada tegas. Bahkan bila perlu, ia harus langsung diangkat.
Nah, bila hal itu diulang berkali-kali, lama-lama bayi akan mengerti bahwa ia tak boleh menyentuh kabel telepon, tak boleh memasukkan jari-jemarinya ke lubang kipas angin, dan sebagainya. Kemudian, agar kita tak terlalu banyak melarang bayi, kita bisa menyingkirkan apa saja yang sekiranya dapat membahayakan bayi. Misal, tepi taplak meja yang berjuntai di keempat sisi meja atau barang-barang antik mahal yang dipajang di atas meja, dan lainnya. Bukan berarti semua barang harus disimpan, lo, karena malah akan membuat bayi jadi tak belajar untuk hati-hati.
ADA KONSISTENSI
Sebenarnya, lanjut Shinto, disiplin secara umum memiliki beberapa syarat. Yang pertama, disiplin akan lebih diterima bila berlaku untuk semuanya. "Jadi, aturan tersebut bukan hanya berlaku bagi anak tapi juga orang tua, karena anak meniru apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya termasuk orang tua." Misal, sebelum makan harus cuci tangan dulu. Kalau si kecil disuruh cuci tangan tapi orang tuanya enggak pernah cuci tangan, maka disiplin tak akan efektif.
"Bayi dalam arti anak setahunan pun bisa memperhatikan hal ini, lo. Misal, bila kita celupkan atau basuh tangan kita di air, ia pasti ingin ikut menirukan." Jadi, contoh itu perlu, ya, Bu-Pak. Hal kedua agar disiplin efektif ialah ada konsistensi. Jadi, sekalipun dalam disiplin ada perkecualian, namun jangan terlalu longgar. Hanya pada saat-saat tertentu saja kita boleh melanggar disiplin, misal, pada saat-saat istimewa. Kalau tidak, pelanggaran disiplin harus disertai konsistensi.
"Tanpa konsistensi, aturan tak akan tertanam." Misal, sudah tiba waktu mandi namun si kecil memilih bermain. Nah, orang tua jangan diam saja atau hanya berkata, "Ayo, mandi" tanpa ada tindakan apapun. "Anak akan belajar, kalau ibu bilang mandi berarti masih bisa ditawar; jadi enggak perlu segera dilaksanakan. Beda jika ibu bilang sekarang mandi dan anak langsung dibawa ke kamar mandi." Kendati masih bayi, si kecil bisa mengerti, lo.
TAK MEMUKUL
Namun dalam menerapkan konsistensi bukan dengan cara memukul, ya, Bu-Pak. Si kecil bukan binatang sirkus yang enggak punya pikiran. Ia tak akan secara otomatis menurut bila dipukul karena setiap dilarang sesuatu, ia malah akan bertanya mengapa sesuatu tak boleh dilakukan. Misal, "Kipas angin itu menarik sekali tapi kenapa aku enggak boleh memegangnya?", atau "Kenapa Kakak boleh main korek api sedangkan aku enggak boleh?" Bagi anak yang belum bisa berbicara dengan benar, ia tak bisa mengungkapkan perasaannya, bukan? "Nah, orang tua suka lupa akan hal ini.
Kadang mereka berpikir, anak adalah orang dewasa. Padahal, segala sesuatu yang dilakukan anak masih belajar. Berjalan pun masih belajar, apalagi berbicara," tutur Shinto. Jadi, tak perlu memaksakan disiplin dengan kekerasan, ya. Bapak-Ibu tentunya tak ingin si kecil jadi seperti robot atau lumba-lumba yang selalu menurut apa yang diminta, kan? Memukul, menurut Shinto, banyak enggak bagusnya. Apalagi kalau memukul anak dengan kuat, bisa membahayakan si anak. Begitupun bila terlalu sering memukul anak, "ambang toleransi anak pada pukulan akan semakin tinggi. Hasilnya, pukulan tak lagi efektif untuk membentuk tingkah laku."
Atau, karena menyakitkan, anak malah jadi benci pada orang yang memukul dan tak ada rasa hormat. Kecuali itu, "anak juga enggak akan jadi bahagia karena merasa tak disayang." Lebih parah lagi, nantinya kalau ia berkeluarga cenderung akan menerapkan cara-cara seperti yang diterapkan orang tuanya. Jadi, Bu-Pak, syarat selanjutnya dalam disiplin adalah sikap empati.
Cobalah menempatkan diri Ibu-Bapak pada posisi anak, bagaimana rasanya pada waktu menjadi anak. Bukan berarti anak boleh melakukan apa saja, lo. Bila ia sudah keterlaluan, orang tua bisa keras tapi enggak melakukan tindakan fisik. "Marah dengan nada keras diperlukan kalau memang anak enggak memperhatikan atau si bayi tengah melakukan hal berbahaya sekali. Jadi, untuk menarik perhatiannya diperlukan nada keras agar ia segera menghentikan kegiatannya yang berbahaya itu." Tapi kalau memukulnya pelan, misal, menyentuh tangan bayi sambil berkata, "Ayo, enggak boleh", menurut Shinto, boleh-boleh saja. Toh, tujuannya untuk memperkuat atau menarik perhatian anak agar ia tak melakukan hal yang berbahaya. Nah, sudah lebih jelas, kan, Bu-Pak?
MENGERTIKAH BAYI BILA DIMARAHI ?
Menurut Shinto , bayi usia 6 bulan bisa memberikan respon seperti terkejut bila orang tuanya marah dengan suara keras. "Hal itu tak akan menyenangkan baginya. Tapi kita tak tahu, apakah yang membuatnya tak nyaman atau menangis adalah frekuensi atau nada suara yang keras ataukah memang perasaan si bayi yang sedih karena dimarahi." Tapi kalau menangis dijadikan sebagai ukuran apakah bayi mengerti bila dimarahi atau tidak, maka jawabannya ya. Yang jelas, kalau orang tua terlalu sering memarahi bayi, saran Shinto, sebaiknya segera berkonsultasi dengan ahli untuk mencari penyebabnya.
"Kadang, orang tua memarahi anak lantaran si anak mirip dengan orang yang tak disenangi." Misal, kita lagi sebal sama pasangan, lalu anak kita yang wajahnya mirip dengan pasangan jadi kena sasaran kemarahan kita. Apalagi bila si kecil mirip dengan mertua yang tak disukai orang tua, duh, kasihan sekali. "Jangan sampai si anak dikatai macam-macam sampai membawa nama orang lain segala. Misal, 'Kamu ini seperti nenek begini-begini,'." Kan, kasihan si kecil yang enggak ngerti apa-apa. Ingat, lo, si kecil enggak salah apa-apa. Jadi, jangan sering dimarahi, ya, Bu-Pak.

http://tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Bayi-Pun-Perlu-Disiplin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar