11.25.2010

Menghitung Biaya Sekolah Anak

Menurut perencana keuangan Mike Rini Sutikno, CFP, biaya sekolah anak selalu menjadi masalah keuangan rumah tangga. “Pendidikan sama pentingnya dengan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan rumah. Dan setiap orangtua harus bisa mengantisipasi, karena pertama, pendidikan itu, meski bukan kebutuhan hidup pokok, tapi sangat krusial dalam rangka membangun kemandirian seseorang anak. Dengan pendidikan, anak nantinya bisa memiliki basic kompetensi untuk bisa menjadi individu yang mandiri, termasuk mandiri secara finansial,” jelas Mike.
Oleh karena itu, orangtua harus bisa menyelanggarakan dana pendidikan. Masalahnya, biaya ini tidak murah, selalu naik dari tahun ke tahun. Dalam mempersiapkan dana pendidikan, orangtua dituntut untuk bisa mengalokasikan penghasilan mereka, sementara kemampuan ini tidak merata. Semakin berat dana pendidikan yang harus disiapkan, semakin besar pula dana yang harus dialokasikan.


Orangtua rata¬-rata punya penghasilan, tapi belum tentu bisa mengalokasikan untuk tabungan dana pendidikan anaknya. Faktornya banyak, mulai dari beban biaya hidup, kesalahan pengelolaan keuangan keluarga, menganut gaya hidup yang kurang tepat, sampai inflasi.


Untuk itu harus ada sebuah perencanaan dana pendidikan, sehingga orangtua mampu membayar biaya pendidikan anak sesuai jenjang pendidikannya. Konsep dana pendidikan adalah orangtua menabung sepanjang jangka waktu dana pendidikan anak. Umumnya, jenjang pendidikan anak adalah dari usia 4 (playgrup) sampai usia 18 tahun, jadi sekitar 14 tahun. “Nah, orangtua harus menabung dalam jangka panjang, dan kemudian akan diambil sesuai jenjang pendidikannya, misalnya SD, SMP, dan seterusnya.”
Tampaknya sederhana, tetapi praktiknya banyak tantangan. Kenapa? “Jangka waktu 14 tahun itu jangka waktu yang lama. Inflasi yang terjadi selama 14 tahun itu bisa membuat dana pendidikan membengkak berkali lipat. Ini memberatkan pengalokasian penghasilan orangtua. Juga, rata-rata kenaikan biaya pendidikan tidak sama di berbagai daerah dan sekolah. Nah, tergantung orangtua mau menyekolahkan anak dimana. Orangtua juga harus mempertimbangkan bakat dan minat anak.”
Yang juga harus dipertimbangkan adalah kalau dana pndidikan tersebut berhenti di tengah jalan, karena orangtua tak lagi mampu menabung. Misalnya karena sakit, meninggal, kena PHK, dan sebagainya. Ini harus diantisipasi juga.
Kriteria dana pendidikan yang berhasil adalah pada saat akan digunakan, jumlah dana pendidikan itu cukup, sesuai dengan kenaikan inflasi. “Tinggal tergantung dimana orang tua akan menabung atau menginvestasikan dana pendidikan. Masalahnya, tidak semua orangtua paham bagaimana bisa menabung dengan efektif, karena itu berarti harus punya pengetahuan tentng produk-produk investasi. Bicara mengenai instrumen finanial, berarti kita harus memahami ada risiko dan return (tingkat keuntungan).”
Target Dana
Jadi, bagaimana cara yang efektif? Pertama, orangtua harus mengitung jenjang pendidikan yang akan dilewati anak. Orangtua harus memahami tahapannya. Misalnya berapa usia anak sekarang, kapan masuk SD, SMP, SMA, dan seterusnya. Contoh, pada tahun 2009 anak berusia 3 tahun, berarti ia akan masuk SD tahun 2011, SMP tahun 2017, dan seterusnya.
Langkah pertama, orangtua harus memperhitungkan kapan membayar dana pendidikan. Bukan sekarang, tapi 3 tahun lagi, 9 tahun lagi, dan seterusnya. Setelah mengetahui kapan membayar, berarti orangtua akan tahu berapa lama waktu yang ia punya untuk mempersiapkan dana pendidikan.
Setelah tahu waktunya, kemudian dilihat berapa biayanya sekarang dan nanti. “Ini berarti orangtua harus tahu kemana anak akan disekolahkan, karena biaya pendidikan di berbagai sekolah nggak sama. Orang tua harus tahu ke sekolah mana anak akan disekolahkan.” Misalnya, SD A, SMP B, SMA C, dan seterusnya. Kalau sudah memutuskan pilihan sekolah, orangtua bisa minta informasi sekolah yang bersangkutan. Tanyakan berapa uang pangkal tahun 2009, begitu juga SMP dan SMA, kalau perlu sampai perguruan tinggi.
Selanjutnya, orangtua harus memperkirakan uang pangkal masing-masing jenjang tersebut kelak ketika si kecil akan masuk. Misalnya dengan perkiraan asumsi kenaikan 10 persen per tahun, berarti pada tahun 2011 ketika si anak mau masuk SD A, uang pangkal dari yang misalnya Rp 5 juta, naik jadi Rp 8 juta. “Ngitungnya gampang, kok, pakai rumus feature value , yaitu menghitung berapa nilai masa depan suatu jumlah tertentu saat ini, dengan asumsi kenaikan tiap tahun. Paling gampang tanya ke penjual produk tabungan dana pendidikan seperti bank atau agen asuransi,” kata Mike.
Ketemulah target dana untuk masuk SD tahun 2011, misalnya Rp 8 juta. Berarti dalam 3 tahun, orangtua harus bisa mengumpulkan dana Rp 8 juta. Berapa rupiah setiap bulan yang harus disisihkan dari penghasilan agar tahun 2011 bisa terkumpul uang untuk sekolah anak. Itu baru SD-nya saja. Hal sama berlaku untuk SMP dan SMA.
Setelah tahu berapa target dan setoran setiap bulan, masih ada lagi yang harus dipertimbangkan, yaitu seandainya terjadi sesuatu di tengah jalan, misalnya orangtua kena PHK atau sakit sehingga tak bisa lagi memperoleh penghasilan tetap.
“Kalau begitu perlu diasuransikan. Sebetulnya, menabung sendiri dan beli asuransi sendiri juga bisa. Jumlah yang diasuransikan adalah jumlah dana pendidikan yang perlu dicover, tak perlu berlebihan.” Sekarang, pilihan untuk mengantisipasi risiko tidak terbayarnya DP karena hal-hal tak terduga yang terjadi pada orangtua jauh lebih praktis dan mudah diakses. “Biasanya ada produk dana pendidikan yang sudah sekaligus satu paket dengan asuransi. Yang ditawarkan, jika terjadi risiko pada orangtua, maka orangtua terbebas dari kewajiban membayar setoran. Setoran diterusin pihak asuransi.”
Yang perlu dilakukan adalah berapa jumlah yang harus diasuransikan. “Pakai saja perhitungan yang di awal tadi. Misalnya SD Rp 8 juta, SMP sekian, dan seterusnya. Jumlah tadi bisa ditaruh sekaligus dan diambil ketika anak mulai masuk ke tiap jenjang pendidikan. Kalau tadinya mencicil, maka sekarang sekaligus untuk mengantisipasi risiko tadi.”
Harus Kreatif
Orangtua harus bersikap lebih kreatif supaya persipan dana pendidikan yang ia jalankan tepat guna. “Dana pendidikan itu kan, sifatnya jangka panjang dan ada tahapannya. Masalahnya, kalau orangtua mengambil produk keuangan standar, seperti tabungan, keuntungannya kecil sekali, sementara kenaikan biaya dana pendidikan jauh lebih besar dibanding suku bunga yang bisa diberikan oleh bank. Artinya, kalau orantua ngotot tetap memakai cara itu, setoran tabungan jadi sangat berat karena harus mengejar target dana investasinya.
Oleh karenanya, Mike menganjurkan, jika ada alternatif lain yang bisa memberikan return hasil lebih tinggi untuk investasi dalam jangka panjang, orangtua sebaiknya mempelajari. Orangtua harus meningkatkan selera menerima risiko kerugian. Ada orang yang senangnya cuma menaruh uang di bank, itu artinya dia konservatif sekali, tidak mau ambil risiko apapun. Sebab, produk di luar tabungan selalu ada risiko, seperti lembaga keuangan tutup atau kondisi ekonomi yang tidak stabil yang menyebabkan kinerja instrumen keuangan yang kita pilih turun (risiko sistemik).
Dan karena dana pendidikan ini memiliki tahapan, maka jangka waktu investasinya bervariasi. Ada yang jangka pendek (1-2 tahun), menengah (3 – 5 tahun) dan jangka panjang. Tabungan dan produk keuangan konservatif cocok untuk yang jangka pendek, sementara jangka menengah dan panjang lebih baik pilih produk yang memberikan return lebih baik, seperti obligasi retail, reksadana pendapatan tetap, atau emas. Di atas 5 tahun bisa memaai reksadana saham. “Properti juga bisa, tapi modalnya besar. Masing-masing memang ada plus minunya.”

ORANGTUA TETAP YANG UTAMA
Memilih sekolah adalah persoalan selera. Dari sisi finansial, sebaiknya sesuaikan antara gaya hidup dengan kemampuan finansial. Kualitas memang ada harganya. “Padahal, kalau kita menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan utama, maka dia harus ada. Jangan sampai karena tidak cocok dengan gaya hidup dan selera, orangtua memaksakan diri membeli sebuah gaya hidup atau kualitas sekolah yang sebetulnya tidak mampu dia beli. Kualitas itu sebetulnya kan, subyektif.”
Bukan berarti tidak usah bersekolah di sekolah yang mahal, tapi menurut Mike, orangtua terlebih dulu harus memperbaiki mindset nya. Hasil pendidikan adalah bagaimana si anak nanti. Karena itu orangtua harus lebih realistis. “Artinya, menyerahkan pendidikan dan kesuksesan anak ke pihak sekolah semata jelas tidak realistis. Karena sebetulnya 80 persen pendidikan ada di rumah.”
Orangtua harus kreatif dan berwawasan luas. Sekolah lebih ke soal fasilitas. Fasilitas yang baik memang bisa menghasilkan kualitas, tapi tidak selalu. Ada variabel lain yang tidak bisa dilupakan, seperti mental, spiritual, building character, dan itu ada andil orangtua di dalamnya. Dengan begitu, ketika orangtua berhadapan dengan keinginan antara menyekolahkan anak ke sekolah yang berfasilitas bagus tapi mahal, atau ke sekolah yang sedang tapi justru itu yang mampu secara realistis, dan ortu punya harapan yang tinggi, maka yang harus diperbaiki adalah kualitas pendidikan di rumah.
“Orangtua harus bisa membangun lingkungan yang bisa mengasah bakat anak secara optimal. Rumah juga sekolah. Cara pandang ini yang bisa menunjang kualitas pendidikan anak secara optimal. Orangtua harus punya metode pengajaran yang basic nya dari rumah.
Maka, daripada sekolah mahal, tapi orangtua kemudian acuh terhadap pendidikan anak, mendingan pilih sekolah yang sedang tapi komunikasi anak dan orangtua jalan. “Bisa bikin perpustakaan pribadi di rumah, bikin kegiatan bersama di rumah. Itu lebih optimal. Pembelajaran di rumah juga tidak butuh waktu lama. Sepuluh sampai 15 menit bisa jadi lebih optimal ketimbang 4 jam tapi mengantuk. Momen dan kualitas komunikasilah yang harus diperhatikan. Anak juga perlu diberi ruangan bagi dirinya untuk berkembang, orangtua hanya menstimulasi, memberi fasilitas, dan menciptakan tantangan. Ini akan membuat anak menjadi dinamis dan berkembang karakternya, selain tak butuh biaya mahal, waktu lama, atau energi yang banyak.
Menurut Mike, rumah adalah sekolah terbaik, sementara sekolah formal sebagai pelengkap. “Bagaimanapun anak masih butuh lingkungan yang nyata, supaya ia bisa bersosialisasi menghadapi kehidupan yang nyata. Dan itu ada di sekolah.”
ANAK PERTAMA BERES, ANAK BERIKUTNYA…
Yang sering terjadi, ketika anak pertama lahir, orangtua memberikan yang terbaik untuknya, termasuk pendidikan. Begitu anak kedua dan berikutnya lahir, ini tak lagi berlaku karena faktor finansial yang tak lagi memadai.
“Seharusnya, pasangan suami-istri merencanakan mau punya anak berapa. Kalau Cuma satu, kok, sepi, tapi kalau 3 kok kayaknya berat. Sebetulnya ini tidak berhubungan dengan masalah finansial, tapi berefek ke masalah finansial. Mau punya satu atau 3 anak kan tidak bisa disalahkan? Jadi, pertimbangkan dulu ketika menikah mau punya anak berapa, karena ini akan berkaitan dengan biaya yang akan dialokasikan. Kalau sudah mantap berapa jumlah anak yang direncanakan, maka akan jauh lebih mudah untuk mempersiapkan pendidikannya kelak,” lanjutnya.
Bagaimana jika sudah telanjur punya banyak anak? “Ya, orangtua harus melakukan penyesuaian. Penyesuaian gaya hidup terutama, misalnya kalau anak pertama sekolah favorit, anak berikut mungkin tidak harus di sekolah favorit, tanpa mengurangi kualitas. Juga gaya hidup lain, seperti konsumsi, pakaian, mengurangi ke mal, dan sebagainya. Tujuannya supaya lebih banyak yang dialokasikan untuk dana pendidikan anak dengen pengendalian pengeluaran.
Sumber : Tabloid Nova Edisi Jumat, 15 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar